Senin, 09 Maret 2015

Masjidku ke Gerejamu



Mau sampai mana?
Senja ditekuk atau hujan digulung?

Mau sederas apa?
Sungai belakang rumah atau air terjun?

Mau sebanyak apa?
Genangan atau bendungan?

Seberapa jauh?
Dalam ukuran apa?

Sepertinya bukan lagi tentang kilometer
Atau sebrang

Dari Masjidku ke Gerejamu
Aku duduk termenung tentang jarak dan jurang menganga di antaranya..


Love Different Religion? Sampai mana Tuhan semua makhluk membawa muara untukmu?


Sukoharjo, 09032015/22.43
Untuk kedua kakak di sana yang tengah dirundung hal aneh dan nyleneh yang biasa disebut cinta.

Selasa, 03 Maret 2015

Bait Lusuh Tentang Rindu



Rindu
Kata yang sedari tadi berkedip muncul dalam tiap ketikan kursor

Rindu
Yang sering mengisi bait sendu
Atau roman picisan yang terbalut lagu

Rindu
Harus bertuankah sebuah rindu?

Lalu dari manakah ia hadir lalu terus mengganggu?

Ia seperti udara
Jangan kau tanya milik siapa
Atau kau berusaha menggenggam erat
Yang dapat kau tahu hanya siapa pencipta dan siapa yang dikehendaki untuk menghirupnya

Rindu
Serupa mahkota dandelion terbang
Lalu jatuh di berbagai tempat
Tumbuh menjadi dandelion baru
Dan engkau atau siapapun memetik dan meniupnya
Akan terus terbang dan tumbuh dandelion-dandelion lagi

Rindu
Milik siapakah kuasa sebuah temu?
Katamu temu adalah penawar rindu(?)
Apakah harus kuganti kata dan judul sajak lusuh ini menjadi ‘temu’ saja?
Bukankah temu adalah klimaks dari sebuah rindu?
Lalu mengapa justru rindu yang begitu bertebaran dan menyisip di antara sajak dan mendominasi roman-roman?

Menyiksa?
Lalu mengapa engkau menikmatinya?

Melelahkan?
Lalu mengapa engkau terus menjalaninya?

Rumit?
Ya, bahkan berbelit seperti bait-bait sebelumnya
Namun engkau terus membacanya

Siksaan imajiner yang begitu mempesona
Pengisi sepi yang begitu lihai menyiksa

Yang mengaku hadir karena jarak atau waktu

Rindu
Bahkan engkau belum kenal dengannya bukan?
Namun akhir-akhir ini kau sudah terlalu akrab dengannya
Lalu tertuang dalam bait lusuh dan bisu


Sukoharjo, 03032015/01.38

Senin, 02 Maret 2015

Dialog Tengah Malam: Jam Dinding dan Kabel


Dialog jam dinding dan kabel di sudut ruang bisu
 
Tik, tik, tik
Tidakkah kau lelah berdetik?
Tik, tik, tik
Apa yang terus engkau tunggu?
Tik, tik, tik
Adakah sesuatu di ‘ujungmu’ yang menanti di ambang pintu?
Tik, tik, tik
Adakah kau bisa menjawab penasaranku?

Tik, tik, tik
Tidakkah kau lelah?
Terus bertanya tanpa jeda?

Tik, tik, tik
Ya, aku menunggu
Menunggu seseorang menjanjikan bertemu di salah satu detikku
Lalu kapan?
Perlukah seseorang tahu kapan ujung penantian sesuatu?
Tentu, agar ia tahu seberapa lama ia perlu bergumul dengan waktu, atau sekedar memoles paras lugu untuk menyambut temu
Haruskah?
Lalu bagaimana perihal kematian atau hal-hal yang disemogakan?
Itu... Namun bukankah kita harus tetap berangan kapan bertemu, meskipun ia akan datang menerjang waktu lebih cepat, atau tersendat lalu datang terlambat?
Tik, tik, tik

Tik, tik, tik
Tik, tik, tik

Mengapa?
Karena bukankah itu masuk dalam menunggu?
Sebuah kejutan kecil dalam salah satu detikku
Sekedar mengerti bahwa bersabar adalah pelipur waktu
Dan ketidaktahuan akan kehadiran adalah motor penggerak untuk terus maju

Yakinkah engkau ia benar akan datang di salah satu detikmu?
Itu di luar kuasaku
Seperti akankah aku berdetik dalam sekian waktu lagi, itu pun di luar tahuku
Lalu untuk apa menanti hal semu?
Seperti mengapa engkau bertanya pada jam dinding perihal detiknya?
Seperti mengapa baru engkau tanyakan padaku saat ini dan bukan ribuan detik sebelumnya?
Karena...
Maukah engkau menanti bersamaku?
Setidaknya agar penasaranmu terjawab
Dan takkan kau bertanya lagi tentang detikku

Tik, tik, tik, tik, tik, tik............